Disiplin Positif
Selama ini disiplin sering dikaitkan dengan ketidaknyamanan bukan dengan apa yang kita hargai, atau pencapaian suatu tujuan. Padahal sebenarnya kata disiplin berasal dari kata "diciplina" yang artinya belajar. Penerapan disiplin terutama di sekolah selama ini cenderung berkiblat pada teori stimulus respon, yaitu dengan memberikan hukuman pada yang melanggar dan memberikan penghargaan kepada yang berbuat baik. Teori ini tidak sepenuhnya salah asalkan dibarengi dengan penguatan nilai-nilai yang diyakini oleh murid.Teori stimulus respon lebih mengedepankan pada tindakan Guru dalam menegakkan disiplin menggunakan prinsip reward and punishment atau pemberian hadiah dan hukuman. Cara ini memang cukup efektif untuk mengubah perilaku murid dalam jangka pendek terutama ketika hadiah dan hukuman masih diberikan, tetapi ketika pemberian hadiah dan hukuman tidak diberikan lagi maka perilaku murid akan kembali kepada perilaku sebelumnya. Artinya teori stimulus respon ini tidak dapat mengubah karakter murid, akibatnya murid akan patuh ketika ada pengawasan dari Guru. Lalu penerapan disiplin seperti apa yang dapat mengubah karakter murid.
Sebelum kita membahas penerapan disiplin yang dapat mengubah karakter murid, kita perlu pahami dulu bahwa setiap perilaku pasti ada motivasi yang mendasarinya. Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi perilaku manusia:
1. Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman
Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut. Motivasi ini bersifat eksternal
2. Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.
Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan. Motivasi ini juga bersifat eksternal.
3. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.
Menurut Ki Hadjar Dewantara dan Diane Gossen, disiplin merupakan bentuk kontrol diri, yaitu belajar untuk kontrol diri agar dapat mencapai suatu tujuan mulia. Tujuan mulia di sini mengacu pada nilai-nilai atau prinsip-prinsip mulia yang dianut seseorang. Kita namakan nilai-nilai tersebut sebagai nilai-nilai kebajikan (virtues) yang universal. Nilai-nilai kebajikan universal berarti nilai-nilai kebajikan yang disepakati bersama, lepas dari suku bangsa, agama, bahasa maupun latar belakangnya. Nilai-nilai ini merupakan ‘payung besar’ dari sikap dan perilaku kita, atau nilai-nilai ini merupakan fondasi kita berperilaku. Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu. Seperti yang telah dikemukakan oleh Dr. William Glasser pada Teori Kontrol (1984), menyatakan bahwa setiap perbuatan memiliki suatu tujuan, dan selanjutnya Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan.
Hukuman, Konsekuensi dan Restitusi
Dalam menjalankan peraturan ataupun keyakinan kelas/sekolah, bilamana ada suatu pelanggaran, tentunya sesuatu harus terjadi. Untuk itu kita perlu meninjau ulang tindakan penegakan peraturan atau keyakinan kelas/sekolah kita selama ini. Tindakan terhadap suatu pelanggaran pada umumnya berbentuk hukuman atau konsekuensi. Dalam displin positif Guru dalam menangani murid yang bermasalah menggunakan Restitusi.
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen,1996).
Sebelum kita membahas lebih mendalam tentang penerapan Restitusi, kita perlu bertanya dahulu, adakah perbedaan antara hukuman dan konsekuensi? Bila sama, di mana persamaannya? Bila berbeda, bagaimana perbedaannya? Di bawah ini Anda akan diberikan suatu gambaran perbedaan antara Hukuman, Konsekuensi, dan Restitusi itu sendiri.
Bila kita melihat bagan di bawah ini, kata disiplin tanpa tambahan kata ‘positif’ di belakangnya, sesungguhnya sudah merupakan identitas sukses dan hukuman merupakan identitas gagal. Disiplin yang sudah bermakna positif terbagi dua bagian yaitu Disiplin dalam bentuk Konsekuensi, dan Disiplin dalam bentuk Restitusi.